Langsung ke konten utama

Tur Korea (5): Back to Jakarta

Pagi itu, kami sarapan dengan paket McD: setangkup burger keju, sepotong hashbrown, dan juga sekaleng jus jeruk. Rasanya tidak jauh berbeda dengan McD di Indonesia, namun tetap enak.
Setelah sarapan dan menyelesaikan packing kami untuk pulang ke Jakarta hari ini, kami berangkat naik bus. Masih ada tempat wisata yang harus kami kunjungi lagi untuk hari ini.
Pertama adalah museum nasional Korea. Sebelum masuk ke museum tersebut, di luar museum kami sudah menemukan sejumlah barang-barang yang terlihat unik dan antik. Pemandu wisata kami menjelaskan mengenai barang-barang tersebut, yang sebenarnya adalah replika dari sejumlah peralatan yang dipakai orang Korea pada masa lalu. Misalnya saja, ada replika pintu rumah orang Korea dulu yang memakai palang kayu, dimana letak palang kayu yang berbeda akan memberikan arti berbeda pula mengenai apa yang terjadi pada pemilik rumah (sedang pergi, sedang ada di rumah, dsb).

Sampai di museum, kami dapat menemukan foto maupun replika dari kehidupan orang Korea di masa lalu dari masa ke masa dan berbagai situasi, seperti saat pernikahan, upacara kematian, dsb. Replika tersebut semuanya ditaruh dalam kotak kaca.
Perjalanan dilanjutkan menuju Gyeongbokgung Palace yang merupakan istana kerajaan Korea pada zaman Joseon. Hal yang menarik adalah, tulisan-tulisan yang ada di bangunan istana ini memakai huruf Kanji, tidak memakai huruf Hangul. Hal ini disebabkan pada masa itu huruf Hangul belum diciptakan. Secara umum, saya menemukan kesan yang mirip dengan kesan seperti saya saat berada di istana atau kuil di Cina.
Setelah itu, kami berhenti ke sebuah tempat, yang sepertinya terlihat cukup kecil, seperti tempat kursus saja. Ternyata itu adalah tempat belajar membuat kimchi dan memakai hanbok. Pertama-tama, kami ke lantai 2, dimana kami membuat kimchi. Kami menempati tempat masing-masing dan kemudian memakai celemek kami. Di depan kami, ada sawi putih beserta sejumlah bumbu lainnya, juga sarung tangan plastik.
Ternyata sawi putih tersebut sudah difermentasi. Kami memakai sarung tangan plastik dan mengikuti arahan pemandu wisata kami: mencampurkan semua bumbu yang ada di depan kami dan mengoleskannya lembar per lembar ke sawi tersebut. Jadilah kimchi!
Kimchi tersebut dapat dibawa gratis, tapi jika tidak membawanya pulang, maka akan disumbangkan ke semacam panti jompo. Karena saya kurang menyukai kimchi karena rasanya yang pedas, jadi saya memutuskan untuk menyumbangkannya saja.
Kelar membuat kimchi, kami ke lantai bawah. Di sana ada hanbok-hanbok yang siap untuk digunakan dengan cara yang mudah. Saya kurang tahu memakainya memang semudah ini atau sebenarnya sama ribetnya dengan memakai kimono. Namun yang jelas, dengan hanbok-hanbok itu kami dapat berfoto layaknya orang Korea dengan pakaian tradisionalnya.
Destinasi terakhir kami adalah supermarket lumayan besar yang menjual berbagai macam oleh-oleh khas Korea, mulai dari makanan, pernak-pernik, dan sebagainya. Kami membeli beberapa macam makanan untuk dibawa pulang.
Akhirnya kami pun sampai di bandara Incheon kembali. Karena waktu penerbangan masih lama, kami memutuskan makan siang dulu di foodcourt Incheon. Saya sendiri memesan sausage curry rice dengan harga kira-kira 60 ribu rupiah saat itu.
Kenyang makan, kami berkeliling bandara yang lumayan bagus dan luas itu. Selang kira-kira 1 jam sebelum pesawat kami berangkat, kami menuju ruang tunggu. Saya menyalakan wifi dan mencoba mengunduh beberapa file. Di sinilah saya baru merasakan cepatnya internet di Korea, dimana di hotel tidak secepat ini. Untuk mengunduh file sebesar 80 MB hanya dibutuhkan waktu kurang dari 3 menit.
Puas mengunduh, saya dan penumpang lainnya pun dipanggil untuk menaiki pesawat yang akan berangkat pulang ke Jakarta. Kami menaiki Asiana Airlines, yang untungnya tidak mem-PHP kami separah hari pertama. Pesawat hanya delay sekitar 30 menit.
Perjalanan pulang menurut saya lebih menyenangkan daripada perjalanan pergi. Bukan hanya karena sudah ada memori indah yang terkenang di otak saya, melainkan juga karena perjalanan itu sendiri. Banyak makanan yang disediakan, dimana salah satu yang paling saya ingat adalah bibimbap. Saya memang ingin mencoba makanan ini selama di Korea, namun tidak sempat. Ternyata rasanya sangat enak.
Selain itu, in-flight entertainment juga lebih unik daripada di Singapore Airlines. Ada beberapa episode dari beberapa variety show terkenal di Korea (Infinite Challenge, Appa Eodiga, dan lain-lain), yang sayangnya tanpa subtitle. Lagu Jepang dan Korea yang ada di pesawat juga lebih variatif, bahkan untuk lagu K-Pop mereka membundel tiap bulannya lagu-lagu yang paling sering didengar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Shii

Setelah melihat blog ini dari awal sampai akhir saya baru menyadari bahwa belum ada entri yang menampilkan tentang profil saya kecuali yang ada di bagian profil. (Buset telat amat nyadarnya!!!) Karenanya saya akan menuliskan entri ini, yah walaupun amat sangat super duper hyper telat sekali banget (ada kata-kata lain yang lebih lebay?) saya akan memperkenalkan secara singkat, siapa sih Shii itu? Shii (atau yang di dunia nyata lebih dikenal dengan sebutan *****-nama disensor-) adalah manusia yang merasa dirinya alien atau sekurang-kurangnya, anak indigo, lah... *untuk yang terakhir ini saya sendiri tidak tahu pasti kebenarannya, jangan-jangan benar anak indigo?* Jika kalian melihat ada seseorang yang dianggap aneh atau merasa dirinya aneh di sekitar kalian, kemungkinan itu adalah Shii. Nama Shii diambil dari nama aslinya yaitu *******. Shii baginya dianggap nama yang simpel namun punya banyak arti. Nama Shii itu sendiri tercetus tidak sengaja ketika sedang melamun di kamarnya pada suatu

Tes Masuk Atmajaya (1)

Daripada freak dengan bilang "saya ikut tes masuk universitas berinisial A" yang sok-sokan disensor, mending saya langsung beberkan saja nama universitasnya, ya... Jadi, pada tanggal 21 November yang lalu, dengan merelakan batalnya photo session dan tidak hadirnya saya ke UNJ (dimana semua forum yang saya ikuti mengadakan gath disana) juga kerja kelompok sekolah, saya mengikuti tes masuk universitas yang punya 2 tempat (satu di sebelah Plaza Semanggi dan satunya lagi di seberang Emporium Pluit) selain di Jogjakarta ini. Karena dalam pikiran saya sudah penuh dengan kata-kata seperti "Kalo ga lulus tes ini, kamu ga bisa ikut bonenkai di RRI tanggal 12 Desember karena harus ikut tes FKG Trisakti" maka saya memutuskan agar meluluskan tes ini. Lagipula, saya sudah punya tekad, kalau saya diterima di suatu universitas, saya akan menjadi anggota klub jejepangan di sana dan menjadi panitia J-event. Dulu Atmajaya pernah mengadakan J-event, jadi tugas saya adalah menghidupkan

Junjou Romantica (Season 1 dan 2)

Sepertinya sudah lumayan lama saya tidak me-review anime, dan sekarang saya kembali akan me-review sebuah anime, kali ini dari genre yaoi/boy's love (BL). Anime ini memang sudah lama (sekitar 2-3 tahun lalu), tapi saya baru menontonnya akhir-akhir ini karena baru sempat mendownload, dan juga saya baru mengenal yaoi sejak pertengahan 2008. Walau temanya yaoi, tapi menurut saya tak ditampilkan terlalu eksplisit seperti halnya anime yaoi pada umumnya. Jadi, yah... cocok untuk segala kalangan, asalkan tidak keberatan dengan tema BL, tentu saja. Cerita dari anime ini berpusat pada 3 pasangan utama yang saling berkaitan satu sama lain, yakni: 1. Junjou Romantica: Misaki Takahashi (mahasiswa tingkat pertama universitas Mitsuhashi jurusan ekonomi) dan Usami Akihiko (penulis novel yang terkenal, memenangkan penghargaan, namun sangat disayangkan (?) beberapa karya novelnya bertemakan BL). Misaki mendapatkan nilai yang jelek saat persiapan tes masuk Universitas Mitsuhashi, jadi Takahiro, kaka