Hari ketiga!
Sudah mendapat gambaran mengenai apa itu koas dan apa itu kepaniteraan klinik? Baiklah, kini kita lanjut ke pengalaman saya selama 14 siklus kepaniteraan. Karena ini pengalaman pribadi, maka saya akan menulis entri menurut urutan siklus yang saya jalani. Perlu diingat bahwa saya memulai kepaniteraan 2 tahun yang lalu, sehingga pengalaman yang saya tulis ini bisa jadi berbeda jika dialami saat ini, meski secara umum ilmu yang didapatkan tidak terlalu berbeda. Dan perlu diingat, setiap universitas bisa jadi berbeda pengalamannya dalam menjalani suatu siklus.
Oke, kita mulai dengan siklus pertama:
Forensik
Kelompok kepaniteraan saya entah sial atau beruntung, karena mendapatkan siklus ini di awal kepaniteraan. Siklus ini di universitas saya saat itu hanya berlangsung selama 2 minggu (namun tengah tahun ini rencananya akan diubah durasinya menjadi 4 minggu), sehingga kami mendapat jatah libur 3 minggu yang dihabiskan di awal. Namun, untungnya, saat periode extend siklus (normalnya siklus berlangsung selama 5 minggu, namun pada Lebaran dan Natal akan di-extend menjadi 6 minggu) kami mendapatkan siklus-siklus yang tidak jaga malam, sehingga kami bisa merasakan libur Lebaran dan Natal.
Forensik, pada zaman saya, seringkali dianggap "stase atau siklus 0" oleh kakak kelas. Selain durasinya yang hanya 2 minggu, banyak tutorial yang mengingatkan pada kuliah preklinik, kegiatan yang ada cukup santai dibanding siklus lain, Forensik juga hanya diadakan di suatu rumah sakit di Semarang. Jadi, tidak terasa seperti "koas" dan banyak jalan-jalannya. Hal ini menyebabkan pada saat kepaniteraan umum, ketika kelompok koas lain sibuk belajar sesuai siklus pertama yang akan mereka hadapi, kelompok koas saya bingung mau belajar apa. Akhirnya, saya yang waktu itu masih cukup rajin, meringkas buku Forensik UI di buku catatan (yang kalau dipikir-pikir sekarang, saya terlalu niat).
Membayangkan terbang ke Semarang untuk menjalani kepaniteraan rasanya menyenangkan, apalagi habis itu jalan-jalan selama di sana dan setelahnya libur 3 minggu. Kelompok saya bahkan mengambil extend beberapa hari di Semarang untuk berjalan-jalan sebelum kembali ke Jakarta.
Saya terbang ke Semarang menggunakan pesawat Sriwijaya Air. Kali itu, jujur, pertama kalinya saya menggunakan Sriwijaya Air, dan duduk di bangku pesawat paling belakang. Perjalanan sebenarnya tidak buruk dan cuaca juga cerah, namun karena di bangku paling belakang, guncangan sangat terasa dan terdengar bunyi dari pesawat bagian belakang (entah pintu toilet atau apa, saya tidak tahu) dari awal hingga akhir perjalanan. Untung saya senang naik pesawat, jadi saya tidak terlalu khawatir.
Di Semarang, saya tinggal bersama dengan sebagian besar kelompok koas saya di sebuah rumah kos yang terletak tak jauh dari rumah sakit. Bahkan, ada jalan pintas dari kos ke rumah sakit, namun harus melewati pemakaman (namun kalau tidak salah jalan pintas itu sudah ditutup).
Sudah mendapat gambaran mengenai apa itu koas dan apa itu kepaniteraan klinik? Baiklah, kini kita lanjut ke pengalaman saya selama 14 siklus kepaniteraan. Karena ini pengalaman pribadi, maka saya akan menulis entri menurut urutan siklus yang saya jalani. Perlu diingat bahwa saya memulai kepaniteraan 2 tahun yang lalu, sehingga pengalaman yang saya tulis ini bisa jadi berbeda jika dialami saat ini, meski secara umum ilmu yang didapatkan tidak terlalu berbeda. Dan perlu diingat, setiap universitas bisa jadi berbeda pengalamannya dalam menjalani suatu siklus.
Oke, kita mulai dengan siklus pertama:
Forensik
Kelompok kepaniteraan saya entah sial atau beruntung, karena mendapatkan siklus ini di awal kepaniteraan. Siklus ini di universitas saya saat itu hanya berlangsung selama 2 minggu (namun tengah tahun ini rencananya akan diubah durasinya menjadi 4 minggu), sehingga kami mendapat jatah libur 3 minggu yang dihabiskan di awal. Namun, untungnya, saat periode extend siklus (normalnya siklus berlangsung selama 5 minggu, namun pada Lebaran dan Natal akan di-extend menjadi 6 minggu) kami mendapatkan siklus-siklus yang tidak jaga malam, sehingga kami bisa merasakan libur Lebaran dan Natal.
Forensik, pada zaman saya, seringkali dianggap "stase atau siklus 0" oleh kakak kelas. Selain durasinya yang hanya 2 minggu, banyak tutorial yang mengingatkan pada kuliah preklinik, kegiatan yang ada cukup santai dibanding siklus lain, Forensik juga hanya diadakan di suatu rumah sakit di Semarang. Jadi, tidak terasa seperti "koas" dan banyak jalan-jalannya. Hal ini menyebabkan pada saat kepaniteraan umum, ketika kelompok koas lain sibuk belajar sesuai siklus pertama yang akan mereka hadapi, kelompok koas saya bingung mau belajar apa. Akhirnya, saya yang waktu itu masih cukup rajin, meringkas buku Forensik UI di buku catatan (yang kalau dipikir-pikir sekarang, saya terlalu niat).
Membayangkan terbang ke Semarang untuk menjalani kepaniteraan rasanya menyenangkan, apalagi habis itu jalan-jalan selama di sana dan setelahnya libur 3 minggu. Kelompok saya bahkan mengambil extend beberapa hari di Semarang untuk berjalan-jalan sebelum kembali ke Jakarta.
Saya terbang ke Semarang menggunakan pesawat Sriwijaya Air. Kali itu, jujur, pertama kalinya saya menggunakan Sriwijaya Air, dan duduk di bangku pesawat paling belakang. Perjalanan sebenarnya tidak buruk dan cuaca juga cerah, namun karena di bangku paling belakang, guncangan sangat terasa dan terdengar bunyi dari pesawat bagian belakang (entah pintu toilet atau apa, saya tidak tahu) dari awal hingga akhir perjalanan. Untung saya senang naik pesawat, jadi saya tidak terlalu khawatir.
Di Semarang, saya tinggal bersama dengan sebagian besar kelompok koas saya di sebuah rumah kos yang terletak tak jauh dari rumah sakit. Bahkan, ada jalan pintas dari kos ke rumah sakit, namun harus melewati pemakaman (namun kalau tidak salah jalan pintas itu sudah ditutup).
Kegiatan selama siklus ini secara umum adalah tutorial mengenai Forensik, presentasi referat (semacam tinjauan pustaka), dan juga menulis visum, baik visum bayangan (visum dari kasus yang sebetulnya tidak ada, jadi kita menulis untuk lebih mengetahui formatnya saja) maupun visum nyata. Selama 2 minggu saya hanya mendapat 1 visum nyata, yaitu orang yang meninggal karena tenggelam. Jika cukup beruntung, kita juga dapat menyaksikan otopsi dan membuat laporannya. Sayangnya saat saya di sana saya tidak mendapatkan otopsi. Oh ya, di Semarang ini, semua laporan harus ditulis tangan. Jadi, sepanjang hari kami sibuk menulis visum (1 visum panjangnya bisa 4-10 halaman folio, dan kami menulis 7 visum bayangan dan visum nyata tergantung jumlah yang didapat).Pada hari terakhir, ada ujian tertulis dan ujian praktek mengenai deskripsi luka, dan sejumlah teori Forensik. Selesai ujian, siang harinya ada pembagian nilai. Kelompok saya untungnya lulus semua dengan nilai memuaskan.
***
Sambil menyelam minum air. Sambil menjalani kepaniteraan, kami juga sempat berjalan-jalan dan wisata kuliner. Sebagian kegiatan menulis visum kami lakukan di tempat makan. Adapun tempat wisata kuliner yang saya ingat saya kunjungi di Semarang yaitu:
1. Toko Oen, kafe yang menjual es krim ala zaman dulu dan juga makanan Barat seperti steak. Interiornya juga ala zaman dulu. Kafe yang wajib dikunjungi saat ke Semarang. Wajib coba es krim coklatnya yang enak dan teksturnya yang khas, berbeda dari es krim lainnya. Sangat berharap buka cabang di Jakarta. (Mitos yang terjadi saat koas di Semarang adalah jangan ke Toko Oen dan jangan makan bebek kalau tidak mau banyak visum. Dan benar, saat kami ke Toko Oen, ada visum hidup yang dikerjakan oleh teman yang jaga hari itu)
2. Kafe Pelangi, kafe yang tempatnya kecil dan cukup tersembunyi namun memiliki es krim vanila yang LUAR BIASA ENAK. Sampai saat saya menulis ini, sebagai pecinta es krim, saya belum menemukan es krim vanila yang lebih enak daripada es krim vanila di kafe ini. Vanilanya sangat berasa, teksturnya pas, porsinya tidak memuaskan karena saking enaknya, sampai saat saya menulis ini masih terbayang sensasinya padahal saya sudah 2 tahun tak memakannya. Rasanya ingin dibawa pulang untuk oleh-oleh, sayangnya tak bisa.
3. Nasi Gandul Pak Memet, yaitu warung makan yang menjual nasi gandul, cukup ramai saat saya mengunjunginya. Nasi Gandul ini memakai semacam kuah kecap dicampur nasi putih dan diberi topping daging sapi maupun jeroan. Enak! Dimana saya bisa menemukan nasi gandul di Jakarta yang seenak ini, ya ....
4. Asem-asem Koh Liem, nasi putih disajikan terpisah dengan asem-asemnya. Kuah hitam sejenis rawon yang terasa asam pedas, berisi tomat, daging sapi, dan disajikan dengan kerupuk. Saya jadi suka memesan makanan ini saat di Jakarta meski rasanya tidak seenak di Semarang, tapi lumayan mengobati kerinduan.
5. Nasi Goreng Babat Pak Di, nasi goreng disajikan dengan babat yang gurih. Salah satu makanan terenak saya selama di Semarang. Sayang, bikin sakit tenggorokan, hahaha.
6. Semawis, kawasan yang di kiri-kanan terdapat berbagai stand makanan maupun restoran, terdiri atas satu jalan panjang. Saya membandingkan ini mirip dengan Jalan Alor, Bukit Bintang, Malaysia. Kalau di Jakarta kurang lebih mirip Pecenongan. Kawasan wajib kunjung saat ke Semarang. Banyak kuliner unik dan menarik di sini.
7. Tavern, kafe yang lumayan mewah untuk ukuran Semarang. Biasa menjadi tempat makan cantik. Makanan yang disajikan tergolong mahal, namun masih murah dibanding kafe serupa di Jakarta. Yang saya paling ingat di sini justru adalah Nutella frappe-nya yang manis dan enak.
8. Goodfellas, tempat makan cantik yang tak hanya memiliki makanan yang cantik, namun juga interior yang ciamik dan pemandangan malam yang indah. Harganya agak lebih mahal dari Tavern, tapi sesuai dengan porsinya dan tempatnya. Chicken parmigiana-nya recommended.
9. Lekker Paimo, ini adalah lekker yang dijual di depan Sekolah Loyola. Salah satu tempat kuliner paling terkenal untuk orang di luar Semarang, bahkan para food blogger juga ke sini. Padahal, saat saya datang 2 tahun lalu, tempatnya hanya gerobakan di pinggir jalan. Katanya, setiap buka lekker ini tak pernah sepi pembeli. Terdiri atas 2 macam yaitu manis dan asin. Isiannya sendiri cukup beragam, mulai dari yang mainstream seperti coklat, yang kekinian seperti mozzarella hingga yang mengenyangkan seperti tuna. Harganya pun tak mahal, namun dijamin makan satu tak cukup.
10. Kedai Beringin, cukup terkenal juga. Menghidangkan Chinese food yang murah dengan porsi banyak, yang benar-benar mengingatkan saya akan restoran Chinese food mirip D'cost yang berada dekat GOR Sunter dulu (sayangnya restoran di Sunter itu sudah tidak ada sekarang). Rasa makanan di Kedai Beringin juga lumayan enak.
11. Bakmi Hapkie, jujur saya sudah lupa rasanya saking saya sering memakan bakmi. Dari catatan saya dulu, tekstur bakmi ini cukup kenyal dan rasanya gurih ke arah manis.
12. Soto Ayam Pak Darno, tak terlalu memorable sejujurnya, mengingat saya juga sering makan soto ayam di Jakarta. Tapi dari catatan saya, soto ini lumayan enak.
13. Lombok Ijo, menyajikan makanan Indonesia. Saya juga agak-agak lupa kalau untuk yang ini. Menurut catatan saya, rasanya lumayan oke.
14. Pesta Keboen, untuk restoran yang ini saya sempat me-review di Instagram. Saya sangat tertarik akan interiornya yang unik dan fotogenik. Terkesan jadul, dengan koleksi barang antik dimana-mana. Makanannya juga fotogenik. Sayang, rasanya standar saja dan hal yang saya ingat dari restoran ini memang interiornya yang khas.
15. Cafe Coco Madelaine, menjual berbagai hidangan bertema coklat. Khas mereka adalah pancake hotplate dengan coklat leleh dan ice cream. Boleh, lah, buka di Jakarta untuk memuaskan pecinta dessert, hehehe.
Untuk tempat wisata, saya mengunjungi:
1. Lawang Sewu, gedung yang terkenal akan julukan seribu pintu yang menjadi ikon khas kota Semarang. Peninggalan zaman Belanda. Wajib dikunjungi kalau ke Semarang.
2. Kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng yang tertua di Semarang, menyajikam arsitektur Cina campur Jawa yang unik.
3. Mal Paragon, mal terbesar saat itu. Fasilitasnya cukup lengkap dan macam-macam ada. Interior standar mal di Jakarta.
4. Susan Spa, resort di Bandungan yang memiliki pemandangan gunung dan kota yang sangat menakjubkan. Di resort ini juga ada kapel yang cantik yang bisa digunakan untuk pernikahan. Tempat wisata favorit saya selama di Semarang.
5. Gua Maria Kerep, berhubung sebagian dari kami beragama Katolik maka kami ,menyempatkan diri ke sini. Di gua ini terdapat patung Maria yang sangat besar yang saat itu sedang dibangun.
Komentar