Live in selama seminggu di Krekah sangatlah menyenangkan. Kegiatan-kegiatan yang ada sangat bermanfaat, dan tentu saja banyak pelajaran yang dapat diambil dari live in kali ini.
Pertama, belajar hidup sederhana. Di Jakarta saya adalah salah satu orang yang cukup “technology-addicted”, sangat bergantung pada teknologi, terutama HP. Di sana, kami diminta untuk meninggalkan semua itu. Dan ternyata, saya bisa juga hidup tanpa HP, laptop, dan barang elektronik lainnya.
Kedua, belajar mandiri. Live in menurut saya mirip dengan homestay, hanya lokasinya yang berbeda. Di live in kita juga dapat mempelajari budaya setempat, dan juga belajar mandiri. Mencuci piring sendiri, mencuci baju sendiri, dan sebagainya. Saya rasa ini penting juga untuk masa depan, karena jika misalnya kita kuliah di luar negeri/kota, mau tidak mau kita harus kost/asrama, dimana kita dituntut untuk mandiri.
Dan masih banyak lagi hal-hal berharga lainnya yang saya dapatkan selama live in.
Hal-hal yang membuat saya takjub pertama-tama karena rumah di sana, terutama desa Krekah, tidak seburuk perkiraan saya. Saya kira rumah yang saya tinggali terbuat dari anyaman bambu dengan atap seng, lantai tanah, dan lain sebagainya. Tak tahunya, seperti yang sudah saya bilang, rumah yang saya tinggali cukup besar dan bagus.
Lalu soal biaya hidup. Biaya hidup di sana sangat rendah dibandingkan di Jakarta. Misalnya bubur seharga 500 rupiah. Pulang dari Parangtritis kami juga sempat menyantap mi ayam lengkap dengan bakso, yang hanya dihargai Rp 5000,00 saja, padahal tempatnya sendiri berada di semacam ruko. Ini berbeda dengan di Jakarta. Sebagai perbandingan, di Jakarta, mie ayam yang berada di ruko harganya paling tidak Rp 10000,00, itupun tanpa bakso.
Soal kebudayaan, masyarakat sana mempunyai beberapa hal yang cukup unik. Salah satunya adalah tentang arah. Kalau di Jakarta, biasanya kalau kita bertanya arah suatu tempat, kita mengenal kata-kata seperti “lurus, belok kiri, di perempatan terus belok kanan”. Di sana, mereka menggunakan arah mata angin, jadi misalnya “ke arah timur, nanti di perempatan belok ke selatan”. Di sana juga sepeda onthel menjadi sesuatu yang amat sangat umum. Rasanya, akan aneh jika mengetahui bahwa orang asal Jogja tapi tak bisa naik sepeda, mengingat Jogja sudah seperti kota sepeda. Di Jakarta, sepeda onthel sudah amat sangat langka.
Sekarang kita membahas soal peranan ibu dalam keluarga, yang menjadi topik utama renungan live in tahun ini. Menurut saya, peranan ibu angkat saya di dalam keluarga angkat saya selama live in cukup mendominasi, mengingat bapak angkat saya selama di sana cukup sibuk, dan jarang pulang ke rumah karena sedang menyelesaikan proyek pembangunan mesjid yang terletak di dekat rumah kami selama di desa. Walaupun di rumah itu mereka hanya tinggal bertiga (ibu angkat, bapak angkat, dan nenek angkat saya), tapi mereka semua mempunyai peran masing-masing yang penting dalam ekonomi keluarga. Ibu angkat saya adalah ibu rumah tangga, yang walaupun hidupnya cenderung santai karena mempunyai penyakit jantung (jadi tak boleh terlalu lelah), tapi tetap bisa mengerjakan tugasnya dengan baik. Walaupun dia berkata dia tak bisa masak, tapi buktinya masakannya enak. Nenek angkat saya setiap harinya bekerja membuat makanan ternak. (Oh ya, saya lupa mengatakan kalau di rumah itu terdapat 4 kucing, 1 anjing, banyak sapi, ayam, dan kambing). Bapak angkat saya adalah seorang ketua RT, tapi peranannya saya kira tidak terlalu dominan, setidaknya selama saya live in di sana.
Pertama, belajar hidup sederhana. Di Jakarta saya adalah salah satu orang yang cukup “technology-addicted”, sangat bergantung pada teknologi, terutama HP. Di sana, kami diminta untuk meninggalkan semua itu. Dan ternyata, saya bisa juga hidup tanpa HP, laptop, dan barang elektronik lainnya.
Kedua, belajar mandiri. Live in menurut saya mirip dengan homestay, hanya lokasinya yang berbeda. Di live in kita juga dapat mempelajari budaya setempat, dan juga belajar mandiri. Mencuci piring sendiri, mencuci baju sendiri, dan sebagainya. Saya rasa ini penting juga untuk masa depan, karena jika misalnya kita kuliah di luar negeri/kota, mau tidak mau kita harus kost/asrama, dimana kita dituntut untuk mandiri.
Dan masih banyak lagi hal-hal berharga lainnya yang saya dapatkan selama live in.
Hal-hal yang membuat saya takjub pertama-tama karena rumah di sana, terutama desa Krekah, tidak seburuk perkiraan saya. Saya kira rumah yang saya tinggali terbuat dari anyaman bambu dengan atap seng, lantai tanah, dan lain sebagainya. Tak tahunya, seperti yang sudah saya bilang, rumah yang saya tinggali cukup besar dan bagus.
Lalu soal biaya hidup. Biaya hidup di sana sangat rendah dibandingkan di Jakarta. Misalnya bubur seharga 500 rupiah. Pulang dari Parangtritis kami juga sempat menyantap mi ayam lengkap dengan bakso, yang hanya dihargai Rp 5000,00 saja, padahal tempatnya sendiri berada di semacam ruko. Ini berbeda dengan di Jakarta. Sebagai perbandingan, di Jakarta, mie ayam yang berada di ruko harganya paling tidak Rp 10000,00, itupun tanpa bakso.
Soal kebudayaan, masyarakat sana mempunyai beberapa hal yang cukup unik. Salah satunya adalah tentang arah. Kalau di Jakarta, biasanya kalau kita bertanya arah suatu tempat, kita mengenal kata-kata seperti “lurus, belok kiri, di perempatan terus belok kanan”. Di sana, mereka menggunakan arah mata angin, jadi misalnya “ke arah timur, nanti di perempatan belok ke selatan”. Di sana juga sepeda onthel menjadi sesuatu yang amat sangat umum. Rasanya, akan aneh jika mengetahui bahwa orang asal Jogja tapi tak bisa naik sepeda, mengingat Jogja sudah seperti kota sepeda. Di Jakarta, sepeda onthel sudah amat sangat langka.
Sekarang kita membahas soal peranan ibu dalam keluarga, yang menjadi topik utama renungan live in tahun ini. Menurut saya, peranan ibu angkat saya di dalam keluarga angkat saya selama live in cukup mendominasi, mengingat bapak angkat saya selama di sana cukup sibuk, dan jarang pulang ke rumah karena sedang menyelesaikan proyek pembangunan mesjid yang terletak di dekat rumah kami selama di desa. Walaupun di rumah itu mereka hanya tinggal bertiga (ibu angkat, bapak angkat, dan nenek angkat saya), tapi mereka semua mempunyai peran masing-masing yang penting dalam ekonomi keluarga. Ibu angkat saya adalah ibu rumah tangga, yang walaupun hidupnya cenderung santai karena mempunyai penyakit jantung (jadi tak boleh terlalu lelah), tapi tetap bisa mengerjakan tugasnya dengan baik. Walaupun dia berkata dia tak bisa masak, tapi buktinya masakannya enak. Nenek angkat saya setiap harinya bekerja membuat makanan ternak. (Oh ya, saya lupa mengatakan kalau di rumah itu terdapat 4 kucing, 1 anjing, banyak sapi, ayam, dan kambing). Bapak angkat saya adalah seorang ketua RT, tapi peranannya saya kira tidak terlalu dominan, setidaknya selama saya live in di sana.
Komentar