Langsung ke konten utama

Live In (6): Mask Painting

Hari ini pun tak kalah menyenangkannya dengan hari-hari sebelumnya. Pagi hari, ibu angkat saya mengajak kami ke pasar. Di sana kami membeli sayur-sayuran, dan oleh-oleh tempe bacem. Tempe ini ibu angkat saya sendiri yang membuat, dengan menggunakan tempe koro.
Kemudian, ibu angkat saya mengantarkan kami ke pabrik bapia untuk membeli oleh-oleh bapia di sana. Ibu saya di Jakarta memang meminta saya untuk membawakan sejumlah oleh-oleh, seperti taplak meja, bapia, gudeg, tempe bacem, dan coklat merek “Monggo”.
Tak terasa hari telah beranjak siang, dan setelah kami makan siang, kami bergegas ke rumah kepala desa yang tak berapa jauh dari rumah kami. Seperti yang sudah diduga, kami harus menunggu lama lagi untuk sepur mini yang entah kenapa datangnya memang selalu ngaret itu.
Sanggar Giri Gino Guno ternyata tak seberapa jauh dari desa kami. Sampai di sana, banyak anak-anak dari sekolah kami yang berasal dari desa lain sudah berkumpul. Di sana, kami semua dibagi berdasarkan kelompok desa, melakukan berbagai macam kegiatan. Pertama, kami mencoba untuk bermain gamelan Jawa. Beberapa anak waktu itu memang sudah pernah mencoba gamelan Jawa, baik di kegiatan sekolah maupun pada hari ke-2 di desa. Namun, buat saya yang baru pertama kali mencoba, ternyata bermain gamelan Jawa itu gampang-gampang susah karena tangga nadanya yang berbeda dengan tangga nada pada alat musik modern, misalnya piano.
Kegiatan kedua adalah kerajinan janur. Kami, kelompok dari desa Krekah, hanya diajarkan satu kerajinan janur, mungkin karena keterbatasan waktu. Tapi ada beberapa anak dari kelompok desa lain yang diajarkan lebih dari satu bentuk anyaman janur. Namun tak apalah, yang penting saya sudah lumayan bisa membuatnya (walau hasilnya tak lumayan sesuai harapan).
Setelah itu, kami makan snack dan teh manis sebelum menuju ke pos ketiga yaitu kerajinan topeng. Ini adalah kegiatan pilihan. Siapa yang ingin mengecat topeng dapat membayar Rp 17.500,00. Agak mahal memang, tapi semua peralatan sudah disediakan, mulai dari topeng itu sendiri, cat akrilik, sampai pilox dan gantungan topeng. Untuk topeng ini saya lumayan bisa mengerjakannya, tapi tetap saja menurut saya masih agak berantakan (mungkin kapan-kapan saya harus belajar lagi untuk mengembangkan pewarnaan di bidang cat, tidak hanya di bidang pensil warna dan digital saja…).
Pulang dari sana hari sudah sore, dan kami melihat matahari terbenam dari sepur mini. Saya menyadari bahwa itulah sore terakhir saya berada di desa…
Sepur mini berhenti di depan rumah kepala desa, dan tibalah saat yang menggembirakan. HP dibagikan kembali! Dan ketika itu saya baru menyadari, bahwa ternyata saya bisa juga tidak menjadi “cellphone-addicted”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Shii

Setelah melihat blog ini dari awal sampai akhir saya baru menyadari bahwa belum ada entri yang menampilkan tentang profil saya kecuali yang ada di bagian profil. (Buset telat amat nyadarnya!!!) Karenanya saya akan menuliskan entri ini, yah walaupun amat sangat super duper hyper telat sekali banget (ada kata-kata lain yang lebih lebay?) saya akan memperkenalkan secara singkat, siapa sih Shii itu? Shii (atau yang di dunia nyata lebih dikenal dengan sebutan *****-nama disensor-) adalah manusia yang merasa dirinya alien atau sekurang-kurangnya, anak indigo, lah... *untuk yang terakhir ini saya sendiri tidak tahu pasti kebenarannya, jangan-jangan benar anak indigo?* Jika kalian melihat ada seseorang yang dianggap aneh atau merasa dirinya aneh di sekitar kalian, kemungkinan itu adalah Shii. Nama Shii diambil dari nama aslinya yaitu *******. Shii baginya dianggap nama yang simpel namun punya banyak arti. Nama Shii itu sendiri tercetus tidak sengaja ketika sedang melamun di kamarnya pada suatu

Tes Masuk Atmajaya (1)

Daripada freak dengan bilang "saya ikut tes masuk universitas berinisial A" yang sok-sokan disensor, mending saya langsung beberkan saja nama universitasnya, ya... Jadi, pada tanggal 21 November yang lalu, dengan merelakan batalnya photo session dan tidak hadirnya saya ke UNJ (dimana semua forum yang saya ikuti mengadakan gath disana) juga kerja kelompok sekolah, saya mengikuti tes masuk universitas yang punya 2 tempat (satu di sebelah Plaza Semanggi dan satunya lagi di seberang Emporium Pluit) selain di Jogjakarta ini. Karena dalam pikiran saya sudah penuh dengan kata-kata seperti "Kalo ga lulus tes ini, kamu ga bisa ikut bonenkai di RRI tanggal 12 Desember karena harus ikut tes FKG Trisakti" maka saya memutuskan agar meluluskan tes ini. Lagipula, saya sudah punya tekad, kalau saya diterima di suatu universitas, saya akan menjadi anggota klub jejepangan di sana dan menjadi panitia J-event. Dulu Atmajaya pernah mengadakan J-event, jadi tugas saya adalah menghidupkan

Junjou Romantica (Season 1 dan 2)

Sepertinya sudah lumayan lama saya tidak me-review anime, dan sekarang saya kembali akan me-review sebuah anime, kali ini dari genre yaoi/boy's love (BL). Anime ini memang sudah lama (sekitar 2-3 tahun lalu), tapi saya baru menontonnya akhir-akhir ini karena baru sempat mendownload, dan juga saya baru mengenal yaoi sejak pertengahan 2008. Walau temanya yaoi, tapi menurut saya tak ditampilkan terlalu eksplisit seperti halnya anime yaoi pada umumnya. Jadi, yah... cocok untuk segala kalangan, asalkan tidak keberatan dengan tema BL, tentu saja. Cerita dari anime ini berpusat pada 3 pasangan utama yang saling berkaitan satu sama lain, yakni: 1. Junjou Romantica: Misaki Takahashi (mahasiswa tingkat pertama universitas Mitsuhashi jurusan ekonomi) dan Usami Akihiko (penulis novel yang terkenal, memenangkan penghargaan, namun sangat disayangkan (?) beberapa karya novelnya bertemakan BL). Misaki mendapatkan nilai yang jelek saat persiapan tes masuk Universitas Mitsuhashi, jadi Takahiro, kaka