Kira-kira begini petanya dari Lido ke Situgunung
Perjalanan dilakukan sekitar 4,5 jam. Rutenya, dari tol Jakarta kita menuju Ciawi yang kemudian bercabang dua, satu menuju Puncak dan satu ke Sukabumi. Pilihlah rute yang Sukabumi, lalu kita berjalan terus ke arah Danau Lido. Dari Danau Lido, masih beberapa saat lagi sebelum akhirnya ada belokan menuju Situgunung.
Situgunung tempat yang dingin, hijau, dan luas serta pemandangannya indah. Hanya saja, karena musim hujan, jalanannya menjadi cukup basah dan licin sehingga harus berhati-hati. Disana, kami langsung dibacakan nama-nama kami dan masuk ke pleton sesuai pleton kami. Sayangnya, ada bus yang belum datang karena bermasalah dengan kendaraannya, sehingga harus didatangkan bus yang baru. Kemudian, kami memasak makanan dan makan. Menu kelompok makan saya hari itu adalah telur dadar, dimana itu adalah makanan yang paling saya suka.
Malamnya, kami menjalani acara pembukaan berupa sebuah drama singkat tentang Neverland dari panitia, dilanjutkan belajar lagu tema Neverland. Kemudian, ada juga perkenalan panitia dengan cara menarik. Misalnya, seksi konsumsi akan berbaris membawa alat-alat masak, seksi dana akan membawa uang, seksi publikasi dan dokumentasi akan membawa kamera dan memotret kami dengan blitz, dan seterusnya. Lalu, kami membentuk kelompok main berdasarkan warna pangkal bulu yang ada saat dibagikan. Kelompok main ini harus melakukan talent show dan fashion show keesokan harinya. Untuk membeli item untuk talent dan fashion show, dibutuhkan pixie dust (yang sebenarnya hanyalah kertas metalik yang dibentuk bintang), mata uang yang berlaku di Neverland. Kelompok harus memenangkan perlombaan, merayu panitia, atau berhasil melalui suatu pos di hari kedua, untuk mendapatkan pixie dust ini. Jumlahnya terserah yang memberi, bisa 1, 2, atau bahkan 5.
Malam itu, sesudah mendiskusikan talent show, kami menjalani jurit malam sesuai dengan kelompok main kami. Dalam jurit malam ini, kami diberikan 6 lilin dan 2 kotak korek api. Kemudian, kami harus berjalan di dalam kegelapan, melewati semua pos satu-persatu. Hari itu, karena lilin sering mati disebabkan angin kencang dan hujan cukup deras, dan senter yang tak kunjung datang, kami kerap kali berjalan hanya mengandalkan perasaan. Di hari kedua, saat kami berjalan melewati tempat yang hampir sama seperti jurit malam hanya rutenya dibalik, kami baru mengetahui bahwa ada jalan yang kiri-kanan jurang dan cukup licin. Dan kami berjalan disana tanpa bantuan lilin ataupun senter, sepenuhnya bergantung pada bintang di langit yang berserakan bak pasir di pantai, hal yang takkan ditemui di Jakarta. Manusia itu ternyata menakjubkan!
Komentar