Ya... ya... Saya tahu kalau dimanapun, lomba yang diadakan, biasanya tidak boleh menyinggung unsur SARA. Namun, karena terinspirasi oleh pembicaraan saya dengan seseorang barusan, yang membuat saya teringat akan percakapan saya dengan orang yang berbeda (tapi dengan topik yang hampir sama) beberapa waktu lalu, saya memutuskan untuk membuat ini, dengan berbagai resiko. Mungkin blog saya ini akan dihapus, mungkin entri ini akan banyak dikomentari, saya juga belum tahu reaksi yang terjadi. Tapi saya akan berusaha untuk bersikap universal, tidak memojokkan suku, agama, atau ras tertentu. Karenanya saya hanya menyampaikan pendapat saya, tidak menyebarkan kuesioner atau semacamnya (lagi).
Masalah SARA itu memang tidak ada habisnya. Selama belum ada kesadaran dari pihak yang bertengkar, pasti tidak akan ada penyelesaiannya. Kita tentu sering mendengar konflik antar suku, agama, atau ras. Penyebabnya bermacam-macam, bisa karena kecemburuan, karena "doktrin" yang telah disampaikan orangtua secara turun-temurun, dan sebagainya. Harus diakui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia menganut primordialisme dan sektarialisme. Seseorang pernah berkata pada saya bahwa "Boleh saja kita berkata bahwa kita ini nasionalis, tapi coba misalnya kalian mau menikah dengan orang yang agama atau sukunya berbeda dari kalian, apakah orangtua kalian akan setuju? Kalau tak setuju, artinya tak Bhinneka Tunggal Ika dong... Kan harusnya kita menghargai perbedaan, walau dari agama, suku, atau ras berbeda..."
Yah, saya separuh setuju dengan pendapat seseorang tersebut. Bangsa yang baik seharusnya menghargai perbedaan. Lihat saja contohnya Amerika. Walau sekarang masih kontroversial, tapi terpilihnya Obama sebagai presiden AS membuktikan bahwa mereka sudah mulai mencoba menghargai perbedaan. Orang kulit hitam adalah minoritas di AS, sedangkan mayoritas pemilih memilih Obama sebagai presiden mereka.
Saya sendiri tidak membeda-bedakan suku, agama, atau ras tertentu. Bagi saya semuanya sama... suku apapun, agama apapun, ras apapun, dari negara manapun... Saya tidak mengagung-agungkan dan mencela suku, agama, atau ras tertentu, sekalipun itu suku, agama, atau ras saya sendiri. Semuanya netral saja. Sayang kebanyakan dari orang yang saya ketahui, telah di"doktrin" agar membenci SARA tertentu. Bagi saya, tak ada interpretasi, terutama yang negatif, terhadap SARA tertentu. Sikap seseorang itu ditentukan dari diri orang itu sendiri, bukan dari SARA mereka. Makanya, sebenarnya saya heran, apa tujuan mendiskriminasikan SARA yang berbeda dengan kita? Toh semuanya sama-sama manusia, homo sapiens, ciptaan Tuhan yang paling mulia... Alasan "kami mayoritas", "kami bangsa penguasa" dan lain sebagainya pun bagi saya mengherankan. Memangnya kenapa kalau mayoritas? Bukan berarti seenaknya mencela yang minoritas kan? Dan bagi saya tidak ada istilah "bangsa yang paling mulia" atau semacamnya (seperti paham Jepang, Italia, dan beberapa negara lainnya pada zaman Perang Dunia dulu). Kenapa kalian merasa bangsa kalian paling mulia? Semua bangsa sama, kok. Tak ada istilah "kita sudah ditakdirkan lahir dari bangsa ini, jadi kita harus rela diperbudak" atau sebaliknya, "kita lahir dari bangsa ini, artinya bangsa kita yang paling mulia, sedangkan bangsa lain lebih rendah dari binatang (itu contoh ekstrimnya)".
Sayangnya solusi untuk masalah ini tidak bisa datang dari diri orang lain. Kesadaran kitalah yang menentukan. Apa kita mau mencoba untuk menghargai orang lain yang SARAnya berbeda dengan kita? Apa kita bisa mencoba untuk bersikap netral, tidak mengagung-agungkan maupun menjelek-jelekkan SARA, sekalipun itu SARA kita sendiri? Apa kita mau belajar untuk tidak menginterpretasikan SARA tertentu? Kalau kita mau mencoba, kalau kita mau berusaha, bukanlah impian kalau suatu saat nanti Bhinneka Tunggal Ika akan benar-benar terwujud.
Masalah SARA itu memang tidak ada habisnya. Selama belum ada kesadaran dari pihak yang bertengkar, pasti tidak akan ada penyelesaiannya. Kita tentu sering mendengar konflik antar suku, agama, atau ras. Penyebabnya bermacam-macam, bisa karena kecemburuan, karena "doktrin" yang telah disampaikan orangtua secara turun-temurun, dan sebagainya. Harus diakui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia menganut primordialisme dan sektarialisme. Seseorang pernah berkata pada saya bahwa "Boleh saja kita berkata bahwa kita ini nasionalis, tapi coba misalnya kalian mau menikah dengan orang yang agama atau sukunya berbeda dari kalian, apakah orangtua kalian akan setuju? Kalau tak setuju, artinya tak Bhinneka Tunggal Ika dong... Kan harusnya kita menghargai perbedaan, walau dari agama, suku, atau ras berbeda..."
Yah, saya separuh setuju dengan pendapat seseorang tersebut. Bangsa yang baik seharusnya menghargai perbedaan. Lihat saja contohnya Amerika. Walau sekarang masih kontroversial, tapi terpilihnya Obama sebagai presiden AS membuktikan bahwa mereka sudah mulai mencoba menghargai perbedaan. Orang kulit hitam adalah minoritas di AS, sedangkan mayoritas pemilih memilih Obama sebagai presiden mereka.
Saya sendiri tidak membeda-bedakan suku, agama, atau ras tertentu. Bagi saya semuanya sama... suku apapun, agama apapun, ras apapun, dari negara manapun... Saya tidak mengagung-agungkan dan mencela suku, agama, atau ras tertentu, sekalipun itu suku, agama, atau ras saya sendiri. Semuanya netral saja. Sayang kebanyakan dari orang yang saya ketahui, telah di"doktrin" agar membenci SARA tertentu. Bagi saya, tak ada interpretasi, terutama yang negatif, terhadap SARA tertentu. Sikap seseorang itu ditentukan dari diri orang itu sendiri, bukan dari SARA mereka. Makanya, sebenarnya saya heran, apa tujuan mendiskriminasikan SARA yang berbeda dengan kita? Toh semuanya sama-sama manusia, homo sapiens, ciptaan Tuhan yang paling mulia... Alasan "kami mayoritas", "kami bangsa penguasa" dan lain sebagainya pun bagi saya mengherankan. Memangnya kenapa kalau mayoritas? Bukan berarti seenaknya mencela yang minoritas kan? Dan bagi saya tidak ada istilah "bangsa yang paling mulia" atau semacamnya (seperti paham Jepang, Italia, dan beberapa negara lainnya pada zaman Perang Dunia dulu). Kenapa kalian merasa bangsa kalian paling mulia? Semua bangsa sama, kok. Tak ada istilah "kita sudah ditakdirkan lahir dari bangsa ini, jadi kita harus rela diperbudak" atau sebaliknya, "kita lahir dari bangsa ini, artinya bangsa kita yang paling mulia, sedangkan bangsa lain lebih rendah dari binatang (itu contoh ekstrimnya)".
Sayangnya solusi untuk masalah ini tidak bisa datang dari diri orang lain. Kesadaran kitalah yang menentukan. Apa kita mau mencoba untuk menghargai orang lain yang SARAnya berbeda dengan kita? Apa kita bisa mencoba untuk bersikap netral, tidak mengagung-agungkan maupun menjelek-jelekkan SARA, sekalipun itu SARA kita sendiri? Apa kita mau belajar untuk tidak menginterpretasikan SARA tertentu? Kalau kita mau mencoba, kalau kita mau berusaha, bukanlah impian kalau suatu saat nanti Bhinneka Tunggal Ika akan benar-benar terwujud.
Komentar