Tulisan ini dibuat hanya beberapa jam setelah saya mengalami kejadian ini dan merenungkannya.
Jadi, di suatu pagi yang cerah di hari Sabtu, di akhir pelajaran Sejarah, guru Sejarah saya menanyakan kepada satu kelas,
"Seandainya kalian diberi kesempatan untuk berpindah kewarganegaraan selain Indonesia, apakah kalian akan melakukannya? Jawab dengan jujur!"
Tak seperti yang saya duga, kira-kira ENAM PULUH PERSEN dari satu kelas mengangkat tangan.
"Sekarang, berapa orang di antara kalian yang tidak akan berpindah kewarganegaraan meski sudah diberikan kesempatan untuk berpindah?"
Hanya 9 orang yang mengangkat tangan, termasuk saya. Itu hanya sekitar 25 %. Sisanya abstain.
Sebenarnya bukan hanya kali ini saja saya melihat fenomena seperti ini terjadi. Banyak bukti-bukti lain yang pernah saya lihat, diantara lain:
1. Kemarin, sewaktu membaca artikel di sebuah majalah, ada satu artikel yang paling membuat saya berkesan. Artikel itu menceritakan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baik dan benar pada kalangan muda Indonesia. Bahkan, sebagian dari mereka lebih jago berbahasa selain Indonesia, padahal orang Indonesia. Yang paling mengherankan adalah, salah satu kenalan si penulis adalah orang Indonesia, tapi tidak fasih berbahasa Indonesia, meski warga negara Indonesia, karena sekolah di sekolah internasional dimana bahasa pengantarnya bukan bahasa Indonesia. Di rumahnya pun dia tidak berbicara bahasa Indonesia dengan orangtuanya.
Kalau bahasa Indonesia saja yang merupakan bahasa nasional ada yang tidak bisa, bagaimana dengan bahasa daerah?? Jujur saja, penulis pun hanya mengerti sedikit-sedikit beberapa bahasa daerah. Tapi kenapa sampai ada orang Indonesia yang tidak bisa bahasa Indonesia??
2. Sewaktu saya pergi ke hotel Nikko tanggal 4 Oktober 2009 lalu, ada sebuah festival. Apa namanya? "Jak-Japan Matsuri" alias festival Indonesia-Jepang, seperti yang saya hadiri November tahun lalu. Disini saya menemukan lebih banyak lagi keprihatinan:
-Saya datang ke sana memakai batik. Saya kira banyak yang datang ke sana memakai batik, setidaknya bukan cuma saya saja. Tapi ternyata, saya cari kesana kemari orang yang memakai batik, yang ada hanyalah 2 ORANG (1 bapak dan 1 ibu, sepertinya suami istri)!!! Kalau yang cosplay sih mungkin bisa dimaklumi (yang original juga sepertinya menarik kalau memakai batik, hmmm...).
Saya jadi teringat pada pameran cosplay yang diadakan di JCC bersamaan dengan pameran kain tradisional Indonesia. Anak-anak muda Indonesia lebih antusias untuk melihat pameran cosplay daripada kain tradisional Indonesia. Yang datang di pameran kain itu kebanyakan adalah ibu-ibu, anak mudanya cuma saya. Kebalikannya di pameran cosplay.
-Pada lagu "Padamu Negeri", saya lihat anak muda yang menyanyi tidak banyak. Kebanyakan yang ikut menyanyi adalah orang-orang tua.
Saya bukannya tidak suka budaya negeri orang. Seperti yang telah saya bilang di entri-entri sebelumnya, saya adalah pecinta budaya Jepang (terutama visual kei dan musik-musik Jepang serta animanga). Tapi saya tidak pernah terobsesi untuk tinggal di Jepang atau berpindah kewarganegaraan dari Indonesia ke Jepang. Terserah sesama pecinta Jepang di Indonesia seperti saya mau bilang apa. Saya lebih cinta Indonesia. ^^
Hal yang sama juga berlaku untuk pecinta budaya negeri orang lainnya di Indonesia. Yang banyak saya lihat selain budaya Jepang itu ada pecinta budaya Barat (terutama lagu-lagunya tentu saja), dan pecinta Korea (dramanya, lagunya, dst)
Bersambung ke bagian ke-2...
Jadi, di suatu pagi yang cerah di hari Sabtu, di akhir pelajaran Sejarah, guru Sejarah saya menanyakan kepada satu kelas,
"Seandainya kalian diberi kesempatan untuk berpindah kewarganegaraan selain Indonesia, apakah kalian akan melakukannya? Jawab dengan jujur!"
Tak seperti yang saya duga, kira-kira ENAM PULUH PERSEN dari satu kelas mengangkat tangan.
"Sekarang, berapa orang di antara kalian yang tidak akan berpindah kewarganegaraan meski sudah diberikan kesempatan untuk berpindah?"
Hanya 9 orang yang mengangkat tangan, termasuk saya. Itu hanya sekitar 25 %. Sisanya abstain.
Sebenarnya bukan hanya kali ini saja saya melihat fenomena seperti ini terjadi. Banyak bukti-bukti lain yang pernah saya lihat, diantara lain:
1. Kemarin, sewaktu membaca artikel di sebuah majalah, ada satu artikel yang paling membuat saya berkesan. Artikel itu menceritakan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baik dan benar pada kalangan muda Indonesia. Bahkan, sebagian dari mereka lebih jago berbahasa selain Indonesia, padahal orang Indonesia. Yang paling mengherankan adalah, salah satu kenalan si penulis adalah orang Indonesia, tapi tidak fasih berbahasa Indonesia, meski warga negara Indonesia, karena sekolah di sekolah internasional dimana bahasa pengantarnya bukan bahasa Indonesia. Di rumahnya pun dia tidak berbicara bahasa Indonesia dengan orangtuanya.
Kalau bahasa Indonesia saja yang merupakan bahasa nasional ada yang tidak bisa, bagaimana dengan bahasa daerah?? Jujur saja, penulis pun hanya mengerti sedikit-sedikit beberapa bahasa daerah. Tapi kenapa sampai ada orang Indonesia yang tidak bisa bahasa Indonesia??
2. Sewaktu saya pergi ke hotel Nikko tanggal 4 Oktober 2009 lalu, ada sebuah festival. Apa namanya? "Jak-Japan Matsuri" alias festival Indonesia-Jepang, seperti yang saya hadiri November tahun lalu. Disini saya menemukan lebih banyak lagi keprihatinan:
-Saya datang ke sana memakai batik. Saya kira banyak yang datang ke sana memakai batik, setidaknya bukan cuma saya saja. Tapi ternyata, saya cari kesana kemari orang yang memakai batik, yang ada hanyalah 2 ORANG (1 bapak dan 1 ibu, sepertinya suami istri)!!! Kalau yang cosplay sih mungkin bisa dimaklumi (yang original juga sepertinya menarik kalau memakai batik, hmmm...).
Saya jadi teringat pada pameran cosplay yang diadakan di JCC bersamaan dengan pameran kain tradisional Indonesia. Anak-anak muda Indonesia lebih antusias untuk melihat pameran cosplay daripada kain tradisional Indonesia. Yang datang di pameran kain itu kebanyakan adalah ibu-ibu, anak mudanya cuma saya. Kebalikannya di pameran cosplay.
-Pada lagu "Padamu Negeri", saya lihat anak muda yang menyanyi tidak banyak. Kebanyakan yang ikut menyanyi adalah orang-orang tua.
Saya bukannya tidak suka budaya negeri orang. Seperti yang telah saya bilang di entri-entri sebelumnya, saya adalah pecinta budaya Jepang (terutama visual kei dan musik-musik Jepang serta animanga). Tapi saya tidak pernah terobsesi untuk tinggal di Jepang atau berpindah kewarganegaraan dari Indonesia ke Jepang. Terserah sesama pecinta Jepang di Indonesia seperti saya mau bilang apa. Saya lebih cinta Indonesia. ^^
Hal yang sama juga berlaku untuk pecinta budaya negeri orang lainnya di Indonesia. Yang banyak saya lihat selain budaya Jepang itu ada pecinta budaya Barat (terutama lagu-lagunya tentu saja), dan pecinta Korea (dramanya, lagunya, dst)
Bersambung ke bagian ke-2...
Komentar