Langsung ke konten utama

Sedikit Unek-unek dari Seorang Murid yang Hampir Lulus







Saya sama sekali tak berharap unek-unek saya ini dibaca oleh "mereka yang berkuasa". Saya hanya mau menyampaikan unek-unek saya untuk para pembaca, itu saja. Mau menanggapi boleh, mau setuju silakan, mau tidak setuju terserah. Jika ada fakta yang saya paparkan yang keliru, saya mohon maaf.

Ujian Nasional. Dua kata itu tidak asing lagi untuk para pelajar SMA, SMP, dan sekarang, SD. Saya termasuk orang yang mungkin lumayan beruntung karena tidak mengalami UN saat SD. Sampai saat ini, UN selalu menjadi perbincangan utama untuk mereka yang berstatus sebagai pelajar, terutama tingkat akhir. Kenapa? Karena sampai tahun lalu, UN masih menjadi satu-satunya faktor yang menentukan seorang pelajar tingkat akhir lulus atau tidak. Selain itu, selama beberapa tahun terakhir pelajar tingkat akhir (juga kepala sekolah beserta para guru) dibuat kaget oleh berbagai peraturan yang sifatnya unpredictable. Tahun ini peraturannya A, tahun depan bisa jadi berubah seratus delapan puluh derajat.

Peraturan yang Selalu Berubah

Banyak kontroversi soal UN ini, mulai dari jadwal sampai tata cara pelaksanaan. Semuanya serba tak pasti. Bahkan, misalnya, tahun ini, pemberitahuan bahwa paket yang akan digunakan dalam UN dari 2 paket soal menjadi 5 paket soal baru diberitahukan beberapa minggu sebelum UN SMA. Apa murid-murid tidak kaget? Belum lagi jadwal UN yang tiba-tiba mundur 1 bulan, sedangkan di sekolah saya saja, murid-murid sejak awal semester 1 sudah diberikan pelajaran tambahan setiap hari kecuali hari Sabtu. Walau tahu pihak sekolah bermaksud baik, murid-murid angkatan saya merasa dirugikan karena angkatan diatas mereka saja pelajaran tambahannya tidak sesering itu, padahal UN angkatan tahun lalu itu akhir Maret.

Dari semua itu, yang paling menyiksa barangkali peraturan tahun ini yang menyatakan "Nilai akhir berasal dari 60% nilai UN dan 40% nilai sekolah. Nilai sekolah berasal dari 60% nilai ujian sekolah (teori, praktek) dan 40% nilai semester 3, 4, dan 5". Peraturan ini baru diumumkan sekitar bulan Januari, yang berarti semester 6. Artinya, tak ada lagi kesempatan bagi pelajar untuk mengulang waktu dan belajar sebaik mungkin supaya nilai semester 3, 4, 5 memuaskan. Apa yang sudah tertulis di rapor tak bisa diubah lagi sembarangan, bukan? Di satu sisi, peraturan seperti ini bermanfaat untuk mengetahui apakah dalam keseharian seorang murid juga mendapatkan nilai bagus atau tidak, dan juga membuat UN tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan. Namun, yang membuat miris adalah, mengapa pemerintah tidak mengumumkan peraturan itu berlaku untuk UN tahun depan saja, dan diumumkan mulai dari awal semester 3, sehingga pelajar punya kesempatan belajar supaya bisa lulus dengan nilai bagus? Saya merasa kasihan dengan murid-murid yang nilai semester 3, 4, dan 5-nya pas-pasan, sehingga ketika pengumuman itu disampaikan, mereka sudah takut dan stres duluan yang mengakibatkan penurunan daya juang mereka. "Ngapain sih, belajar mati-matian biar nilai UN gue 8 atau 9, kalo nilai rapor gue aja cuma 5, 6, paling bagus 7?". Di sisi lain, murid-murid yang sangat pintar (anggaplah nilai rapor mereka rata-ratanya misalkan diatas 9,5), dapat merasa sudah di atas angin. "Oh ya, nilai rapor gue udah 9,5 nih, udah lah, kalau diliat rata-rata, gue males-malesan dan dapat 5 atau 6 buat UN sama US aja udah lumayan nilai akhirnya." Apa pemerintah tidak kasihan, ya, melihat murid-murid yang seperti itu?

Bahasa Indonesia vs Bahasa Inggris

Mata pelajaran yang diujikan dalam UN SMA adalah Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan tiga mata pelajaran lain sesuai jurusan masing-masing, misalnya Fisika, Kimia, Biologi (IPA), Geografi, Ekonomi, Sosiologi (IPS), Bahasa Asing, Antropologi, Sastra Indonesia (Bahasa), dan Tafsir, Hadis, serta Fiqih (Agama). Untuk SMP, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA Terpadu. Sedangkan SD adalah Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA Terpadu. Saya tak akan membahas Matematika dan IPA karena ilmu pasti (selalu hanya ada satu jawaban, kecuali salah soal), serta tiga mata pelajaran sesuai jurusan yang ada di UN SMA. Saya hanya akan membahas Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Tanyakan pada sembarang pelajar berseragam putih biru atau putih abu-abu selagi mereka pulang dari pengumuman kelulusan, lebih tinggi mana nilai mereka, di Bahasa Indonesia ataukah Bahasa Inggris. Saya yakin, sebagian besar dari mereka mendapatkan nilai lebih tinggi di mata pelajaran Bahasa Inggris dibandingkan Bahasa Indonesia. Bahkan survei tahun lalu mengatakan, kebanyakan murid hanya mendapatkan nilai 7,00-7,99 untuk Bahasa Indonesia, sedangkan Bahasa Inggris 9,00-9,99. Satu lagi keprihatinan sosial muncul terkait UN. Kita tinggal di negara Indonesia, sehari-hari menggunakan Bahasa Indonesia, dan peserta UN sebagian besar berasal dari sekolah yang bahasa pengantarnya berbahasa Indonesia. Kenapa bisa-bisanya nilai Bahasa Indonesia lebih rendah dibandingkan Bahasa Inggris?

Saya ingat, zaman SMP dulu setiap try out saya selalu masuk 5 nilai tertinggi di kelas untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sedangkan, sekarang nilai Bahasa Indonesia saya rata-rata kelas saja, atau sedikit di atasnya. Dan baik SMP maupun SMA, antara nilai tertinggi dan terendah itu hampir selalu tak berbeda jauh. Paling cuma di sekitar jangkauan 7 sampai 8 koma.

Saya jadi teringat kata teman saya yang menjadi inti penjelasan saya berikut, "Bahasa Indonesia itu ambiguitas mayor, Bahasa Inggris itu ambiguitas minor." Kenapa bisa begitu? Mari kita lihat contoh bacaan yang ada.

Bahasa Indonesia (sumber UAN SMA 2007):

Tatkala aku masuk sekolah Mulo, demikian fasih lidahku dalam bahasa Belanda sehingga orang yang hanya mendengarkanku berbicara dan tidak melihat aku, mengira aku anak Belanda. Aku pun bertambah lama bertambah percaya pula bahwa aku anak Belanda, sungguh hari-hari ini makin ditebalkan pula oleh tingkah laku orang tuaku yang berupaya sepenuh daya menyesuaikan diri dengan langgam lenggok orang Belanda.
"Kenang-kenangan" oleh Abdul Gani A.K.

Amanat dalam penggalan cerpen tersebut adalah ...
A. Jangan cepat menyerah pada keadaan bagaimana-pun juga.
B. Jangan membuang waktu selagi masih ada waktu.
C. Sebaiknya kita menyesuaikan diri dengan keadaan.
D. Jangan lupa diri bila menguasai bahasa orang.
E. Jangan mudah dipengaruhi oleh orang lain.


Bahasa Inggris (sumber UAN SMA 2007):

Eka : Are you free today?
Lidya : Yes, what's up?
Eka : Would you like to come with me to see the
"Peterpan" show tonight?
Lidya : Thanks, I'd be delighted to. It's my favourite
band.

What are the speakers going to do?
A. To stay at home.
B. To see Peterpan show.
C. To arrange their free time.
D. To watch Peterpan at home.
E. To come to their friend's house.

Perhatikan baik-baik kedua soal diatas. Jika kita menjawab soal Bahasa Indonesia tersebut, jawaban kita bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Lain halnya dengan Bahasa Inggris, dimana jawaban yang ada biasanya sudah terlihat jelas.

Dalam UN Bahasa Indonesia, biasanya yang ditanyakan terdiri dari tiga bagian: bacaan, EYD, dan hafalan (seperti format surat lamaran pekerjaan, dsb.). Namun yang paling ambigu diantara tiga bagian tersebut adalah bacaan.

Bacaan dalam UN sebagian besar berupa karya sastra, yakni cerpen, puisi, novel, hikayat, dan sebagainya, baik sastra lama tahun 1920-an sampai sastra baru macam Laskar Pelangi. Di bagian bacaan, berapa banyak pun karya sastra yang kita baca, berapa banyak pun TO yang kita kerjakan, semuanya tak berpengaruh. Faktor yang berpengaruh hanyalah 70% faktor keberuntungan dan 30% nalar. Ambil contoh, saya sendiri. Dalam seminggu, saya setidaknya membaca minimal 1 karya sastra pendek (cerpen di koran hari Minggu, misalnya) secara teratur. Bahkan, jika sedang senggang dan tidak banyak ulangan, saya bisa membaca 4-10 buku fiksi dalam seminggu, di luar karya sastra pendek itu. Saya juga mencoba menulis karya fiksi yang kebanyakan dalam bentuk cerpen, cerita mini (flashfiction), dan novel. Dalam TO UN yang lalu, saya juga tak pernah lupa mengerjakan TO Bahasa Indonesia yang saya senangi itu. Namun, saat UN Bahasa Indonesia, jawaban saya masih saja ada yang salah di bagian bacaan.

Ambiguitas mayor yang tadi saya sebutkan itulah yang terjadi disini. Karya sastra adalah seni. Apa buktinya? Coba berikan satu tema kepada 10 orang berbeda, dan minta mereka menulis cerpen dengan tema tersebut. Hasilnya adalah 10 cerpen yang berbeda. Walaupun misalnya ada kesamaan jalan cerita, tapi tak mungkin sama 100%. Tak mungkin ada yang persis sama sampai titik koma, kecuali memang dia plagiat.

Sebagaimana sebuah karya seni, tafsiran orang-orang juga berbeda. Misalnya saja sebuah cerpen. Ketika diminta untuk mengomentari cerpen tersebut, ada yang bilang, "Ini jalan ceritanya keren banget! Ending-nya juga bagus banget! Mantap lah pokoknya!". Sedangkan orang lain bilang, "Ini jalan ceritanya biasa banget. Gue sering baca yang jalan ceritanya kayak gini. Udah gitu, sok pakai bahasa Inggris segala, lagi!". Dan berbagai macam pendapat lainnya.

Kembali ke soal UN 2007 di atas, yang ditanyakan adalah amanat. Soal yang tidak asing dan sering kali keluar, sejenis dengan "Pesan moral yang disampaikan dalam cerita", "Kelebihan buku", "Kekurangan buku", dan lain-lain yang meminta pendapat si yang mengerjakan soal. Sebagai karya seni, tentu saja pilihan seharusnya tidak dibatasi dalam 5 opsi saja. Pasti ada jauh, jauh lebih banyak dari itu. Dalam soal-soal seperti itu, apalagi dengan opsi yang sangat ambigu, pilihan orang bisa sangat beragam, termasuk si pemeriksa. Seorang guru pernah berkata, antar satu pemeriksa dengan pemeriksa yang lain rata-rata ada 5 soal yang jawabannya berbeda ketika mereka membandingkan. Ini bukti bahwa penafsiran karya seni tidak bisa dibuat dalam bentuk pilihan ganda.

Bagaimana dengan ide pokok, kalimat utama, dan sejenisnya? Seringkali ini juga sering membingungkan siswa. Banyak yang tidak tahu perbedaan kalimat utama, ide pokok, dan inti paragraf. Selain itu, jika ada dua opsi dimana satu memuat kalimat pertama dan satu memuat kalimat terakhir, otomatis pilihan akan terpecah dan timbullah perdebatan. Karena itu, ide pokok dan sejenisnya juga termasuk ambiguitas mayor.

Lalu, mengapa Bahasa Inggris, soal tersusah sekalipun, biasanya benar? Karena Bahasa Inggris dianggap bahasa asing, yang lebih susah daripada Bahasa Indonesia. Karenanya dibuat pilihan jawaban yang jawabannya dengan mudah ditemukan di bacaan. Selain itu, di bahasa Inggris juga diberikan listening yang dianggap susah karena kualitas audio tiap sekolah pasti berbeda-beda, dari yang dibacakan gurunya sampai sekolah canggih yang memfasilitasi satu headphone untuk satu anak, hanya untuk listening saat UN. Kalaupun ada yang ambigu, biasanya (lagi-lagi) terdapat di ide pokok, namun tetap saja tidak sebanyak Bahasa Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Shii

Setelah melihat blog ini dari awal sampai akhir saya baru menyadari bahwa belum ada entri yang menampilkan tentang profil saya kecuali yang ada di bagian profil. (Buset telat amat nyadarnya!!!) Karenanya saya akan menuliskan entri ini, yah walaupun amat sangat super duper hyper telat sekali banget (ada kata-kata lain yang lebih lebay?) saya akan memperkenalkan secara singkat, siapa sih Shii itu? Shii (atau yang di dunia nyata lebih dikenal dengan sebutan *****-nama disensor-) adalah manusia yang merasa dirinya alien atau sekurang-kurangnya, anak indigo, lah... *untuk yang terakhir ini saya sendiri tidak tahu pasti kebenarannya, jangan-jangan benar anak indigo?* Jika kalian melihat ada seseorang yang dianggap aneh atau merasa dirinya aneh di sekitar kalian, kemungkinan itu adalah Shii. Nama Shii diambil dari nama aslinya yaitu *******. Shii baginya dianggap nama yang simpel namun punya banyak arti. Nama Shii itu sendiri tercetus tidak sengaja ketika sedang melamun di kamarnya pada suatu

Tes Masuk Atmajaya (1)

Daripada freak dengan bilang "saya ikut tes masuk universitas berinisial A" yang sok-sokan disensor, mending saya langsung beberkan saja nama universitasnya, ya... Jadi, pada tanggal 21 November yang lalu, dengan merelakan batalnya photo session dan tidak hadirnya saya ke UNJ (dimana semua forum yang saya ikuti mengadakan gath disana) juga kerja kelompok sekolah, saya mengikuti tes masuk universitas yang punya 2 tempat (satu di sebelah Plaza Semanggi dan satunya lagi di seberang Emporium Pluit) selain di Jogjakarta ini. Karena dalam pikiran saya sudah penuh dengan kata-kata seperti "Kalo ga lulus tes ini, kamu ga bisa ikut bonenkai di RRI tanggal 12 Desember karena harus ikut tes FKG Trisakti" maka saya memutuskan agar meluluskan tes ini. Lagipula, saya sudah punya tekad, kalau saya diterima di suatu universitas, saya akan menjadi anggota klub jejepangan di sana dan menjadi panitia J-event. Dulu Atmajaya pernah mengadakan J-event, jadi tugas saya adalah menghidupkan

Junjou Romantica (Season 1 dan 2)

Sepertinya sudah lumayan lama saya tidak me-review anime, dan sekarang saya kembali akan me-review sebuah anime, kali ini dari genre yaoi/boy's love (BL). Anime ini memang sudah lama (sekitar 2-3 tahun lalu), tapi saya baru menontonnya akhir-akhir ini karena baru sempat mendownload, dan juga saya baru mengenal yaoi sejak pertengahan 2008. Walau temanya yaoi, tapi menurut saya tak ditampilkan terlalu eksplisit seperti halnya anime yaoi pada umumnya. Jadi, yah... cocok untuk segala kalangan, asalkan tidak keberatan dengan tema BL, tentu saja. Cerita dari anime ini berpusat pada 3 pasangan utama yang saling berkaitan satu sama lain, yakni: 1. Junjou Romantica: Misaki Takahashi (mahasiswa tingkat pertama universitas Mitsuhashi jurusan ekonomi) dan Usami Akihiko (penulis novel yang terkenal, memenangkan penghargaan, namun sangat disayangkan (?) beberapa karya novelnya bertemakan BL). Misaki mendapatkan nilai yang jelek saat persiapan tes masuk Universitas Mitsuhashi, jadi Takahiro, kaka