Hari Jumat telah tiba, dan hari ini saya diajak pergi oleh ibu angkat saya di desa ke pantai paling terkenal di Jogjakarta yaitu Pantai Parangtritis. Saya pergi bersama teman serumah saya dan juga 2 orang teman kami yang berada di rumah lain menggunakan 4 buah motor. Mulanya, kami mengira bahwa kami tidak boleh berjalan-jalan ke luar desa begini, apalagi perginya ke tempat wisata. Namun, kemudian kami bertanya pada guru pembimbing kami, dan mereka mengatakan bahwa sebenarnya kami boleh pergi ke tempat wisata, kalau orangtua angkat kami yang mengajak.
Pantai Parangtritis ternyata jauh lebih indah daripada Pantai Waru. Di Pantai Waru, ombaknya sangat besar dan pantainya juga terjal sehingga kami tak boleh dekat-dekat ke laut. Sebaliknya di Parangtritis, walau ombaknya juga besar (ibu angkat kami mengatakan kalau dari pantai ini, daratan yang terdekat adalah Australia), tapi pantainya lebih landai sehingga kami boleh bermain di laut (tentu saja tidak boleh terlalu jauh ke laut atau kami akan ditelan ombak yang besar itu). Pantai ini juga berbatasan dengan pegunungan sehingga menghasilkan suatu kombinasi yang sangat indah, dan di pertengahan pantai ada semacam aliran air yang dangkal, yang saya kira merupakan hilir sungai.
Di pantai ini banyak terdapat delman yang dapat membawa kita berkeliling pantai. Sayangnya harga yang ditawarkan cukup mahal, Rp 20.000,00 untuk setengah pantai, bolak-balik. Untuk bolak-balik sepanjang pantai, kami harus membayar Rp 40.000,00. Menurut teman yang sudah pernah ke sana, di ujung pantai di dekat pegunungan ada air terjun. Sayang, kami tak sempat melihat air terjun itu.
Ada pengalaman menarik yang saya dapatkan ketika saya sedang naik delman untuk kembali dari pertengahan pantai menuju tempat asal kami berangkat. Air laut pasang ketika itu, sedangkan kuda delman masih berada di tengah lautan, jadi kuda itu diam saja dan tidak mau berjalan. Kami sempat cemas akan terbawa arus laut, untungnya hal itu tak terjadi.
Pulang dari sana, kami mandi, dan setelah itu kami makan. Lalu setelah itu kami bersama-sama menuju rumah teman kami yang kemarin. Ternyata saat itu mereka sedang membuat susu kacang untuk dijual keliling. Kami kemudian membantu mereka menuangkan susu kacang ke dalam kantung plastik kecil, dan juga membantu mereka membuat pisang bakar. Kemudian kami juga ikut berkeliling kampung untuk menjual susu kacang dan pisang bakar itu. Tak diduga ternyata semua dagangan itu laku terjual.
Kami sempat mampir sebentar di rumah kepala desa, dan di sana saya membeli taplak meja batik yang dijual oleh ibu kepala desa. Di sana, guru pembimbing saya yang notabene juga ada di sana memberitahukan kepada kami bahwa hari Sabtu pukul 1 siang kami diminta untuk berkumpul di depan rumah kepala desa untuk bersama-sama ke Sanggar Giri Gino Guno naik sepur mini.
Tak terasa hari sudah sore, dan kami pun pulang ke rumah kami selama kami di desa. Kami mandi, makan malam, dilanjutkan dengan menonton TV, dan tidur.
Pantai Parangtritis ternyata jauh lebih indah daripada Pantai Waru. Di Pantai Waru, ombaknya sangat besar dan pantainya juga terjal sehingga kami tak boleh dekat-dekat ke laut. Sebaliknya di Parangtritis, walau ombaknya juga besar (ibu angkat kami mengatakan kalau dari pantai ini, daratan yang terdekat adalah Australia), tapi pantainya lebih landai sehingga kami boleh bermain di laut (tentu saja tidak boleh terlalu jauh ke laut atau kami akan ditelan ombak yang besar itu). Pantai ini juga berbatasan dengan pegunungan sehingga menghasilkan suatu kombinasi yang sangat indah, dan di pertengahan pantai ada semacam aliran air yang dangkal, yang saya kira merupakan hilir sungai.
Di pantai ini banyak terdapat delman yang dapat membawa kita berkeliling pantai. Sayangnya harga yang ditawarkan cukup mahal, Rp 20.000,00 untuk setengah pantai, bolak-balik. Untuk bolak-balik sepanjang pantai, kami harus membayar Rp 40.000,00. Menurut teman yang sudah pernah ke sana, di ujung pantai di dekat pegunungan ada air terjun. Sayang, kami tak sempat melihat air terjun itu.
Ada pengalaman menarik yang saya dapatkan ketika saya sedang naik delman untuk kembali dari pertengahan pantai menuju tempat asal kami berangkat. Air laut pasang ketika itu, sedangkan kuda delman masih berada di tengah lautan, jadi kuda itu diam saja dan tidak mau berjalan. Kami sempat cemas akan terbawa arus laut, untungnya hal itu tak terjadi.
Pulang dari sana, kami mandi, dan setelah itu kami makan. Lalu setelah itu kami bersama-sama menuju rumah teman kami yang kemarin. Ternyata saat itu mereka sedang membuat susu kacang untuk dijual keliling. Kami kemudian membantu mereka menuangkan susu kacang ke dalam kantung plastik kecil, dan juga membantu mereka membuat pisang bakar. Kemudian kami juga ikut berkeliling kampung untuk menjual susu kacang dan pisang bakar itu. Tak diduga ternyata semua dagangan itu laku terjual.
Kami sempat mampir sebentar di rumah kepala desa, dan di sana saya membeli taplak meja batik yang dijual oleh ibu kepala desa. Di sana, guru pembimbing saya yang notabene juga ada di sana memberitahukan kepada kami bahwa hari Sabtu pukul 1 siang kami diminta untuk berkumpul di depan rumah kepala desa untuk bersama-sama ke Sanggar Giri Gino Guno naik sepur mini.
Tak terasa hari sudah sore, dan kami pun pulang ke rumah kami selama kami di desa. Kami mandi, makan malam, dilanjutkan dengan menonton TV, dan tidur.
Komentar